Jambi : Dinamisnews.com
Kebijakan dalam penetapan suatu kawasan menjadi hutan adat perlu dilakukan secara hati-hati dan teliti, Pasalnya sejumlah besar wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan juga mempunyai penguasaan dan kepemilikan, bila hal ini tidak diperhatikan, berpotensi menyulut konflik berkepanjangan.
Pengamat hukum Noveldi mengatakan, penetapan suatu kawasan menjadi hutan adat sebaiknya dilakukan di kawasan yang bebas dari konflik kepemilikan, Untuk itu ia mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memperbaharui data base kehutanan, termasuk dalam penetapan kawasan hutan adat.
“Harus ada penyusunan peta indikatif yang terverifikasi di lapangan, maka bila ditemukan ada kawasan telah menjadi hak pihak lain seperti Hak Guna Usaha (HGU) sebaiknya dikeluarkan supaya tidak menjadi masalah dikemudian hari,” ujar Noveldi, Minggu (21/7).
Ia melanjutkan, hal ini juga penting untuk memberikan kepastian hukum dan kelangsungan berusaha. Pemerintah juga berkewajiban memberiakn perlindungan hukum kepada pemegang HGU.
Noveldi menyarankan klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mencatat dari 9,6 juta hektar wilayah adat yang terpetakan dan terdaftar di pemerintah, ada 313.000 hektar tumpang tindih dengan izin-izin HGU yang tersebar di 307 komunitas adat perlu diverifikasi, “Semua bisa berbicara dan melakukan klaim, tapi perlu ada verifikasi di lapangan,” sarannya.
Noveldi menambahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sangat syarat penghargaan terhadap hukum adat, tetapi UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan cenderung mereduksinya. “Kesulitan itu akbiat keterlambatan pemerintah menyelesaikan persoalan lahan yang berkaita dengan hukum adat tersebut,” ujarnya.
Karena itu, kata Noveldi perlunya keterlibatan pihak yang punya kompetensi untuk mengenali ciri-ciri masyarakat hukum adat dalam proses penetapan batas wilayahnya. Disisi lain, sangat dimungkinkan bahwa di tempat tertentu penetapan wilayah masyarakat hukum adat sudah tidak dimungkinkan lagi.
“Dalam situasi seperti ini sebaiknya penetapan wilayah masyarakat hukum adat jangan dipaksakan,” Kata Noveldi.
Noveldi menyarankan, KLHK tidak bekerja sendiri dalam penetapan hutan adat. Peran pemerintah daerah sangat sentral, karena masyarakat hukum adat perlu Perda yang memuat batas wilayah masyarakat hukum adat tersebut.
“Bantuan pakar antropologi dalam proses penentuan batas wilayah masyarakat hukum adat juga diperlukan. Selain itu, peran Kementerian ATR/BPN dalam menata ruang dan meregistrasi penguasaan lahan menjadi sangat penting,” kata dia.
Noveldi mengatakan, kebijakan hutan adat menjamin kepastian bagi masyarakat adat dan berpotensi memperkecil persoalan tenurial. Hanya saja, dalam pemanfaatannya harus tetap megikuti fungsi hutan yang telah ditetapkan.
Misalnya, ketika pemerintah menetapkan kawasan Taman nasional sebagai hutan adat, masyarakat adat harus tetap melakukan fungsi konservasi dan menjaga kawasan tersebut.
“Sebaliknya, jika hutan adat berada di fungsi hutan produksi, hormati keinginan masyarakat untuk menanam apapun termasuk sawit,” kata Noveldi Putra Pratama S.H.